Marissa Haque, School of Film, Athens, Ohio, Amerika Serikat

Marissa Haque, School of Film, Athens, Ohio, Amerika Serikat
Marissa Haque, School of Film, Athens, Ohio, Amerika Serikat

Logo Bob Cat untuk Ohio University Soccer Club

Logo Bob Cat untuk Ohio University Soccer Club
Logo Bob Cat untuk Ohio University Soccer Club, Marissa Haque Fawzi

Rabu, 27 Juli 2011

Kopi dan Kenangan Sampai ke Athens, Ohio: Marissa Haque Fawzi




MAJALAH NOOR
CERMIN JIWA N-02

Jakarta, Februari 2004

Kalimat itu selalu terekam di bawah sadarku, bahwa sebuah proses belajar tidak ada yang instant. Hasil akhir biarkan menjadi misteri, karena yang penting adalah menikmati proses itu berjalan. Seperti menikmati aroma kopi…

Hari ini, hari Minggu. Masih suasana liburan Lebaran. Hari-hari terakhir sebelum aku akan kembali ditenggelamkan oleh segudang target kehidupan dan masa depan. Termenung aku duduk di Mushola-ku. Semilir bau tanah basah bekas hujan semalam. Bunga Kembang Sepatu merah tua seakan menyapa selamat pagi untukku yang sedang enggan mandi pagi. Kupandangi kursi tua yang kududuki, warisan ibuku. Kuraba sarung jok di bawah kimono katun yang kupakai. Rasanya baru saja kuganti seminggu sebelum lebaran, tapi entah kenapa getaran kuno dari kursi tua ini selalu melambungkanku pada suatu masa kebersamaan yang hangat. Masa-masa yang terekam kuat di bawah sadarku. Orang-orang yang dekat di hati, yang telah pergi sebanyak satu generasi. Ayah, ibu, dan keluarga besar ibu yang kukasihi.

Masih teringat di benak saat kecil, kami berempat – Shahnaz adikku yang bungsu belum lahir- mama, papa, Soraya dan aku berlibur dari pelosok kota kecil di Plaju- Baguskuning, Palembang , tempat papa bekerja sebagai karyawan pertamina, menuju Bondowoso, Jawa Timur, kampung masa kecil almarhumah ibuku.
Sepanjang perjalanan dengan pesawat Fokker F-28 yang saat itu sudah terasa mewah, kami terbang lebih dulu ke Jakarta, transit di Surabaya, lalu diteruskan melalui perjalanan darat melewati daerah pantai Pasir Putih, dan akhirnya sampai di Bondowoso. Kami menginap di rumah besar orang Belanda, istri kedua sepupu eyang putriku. Karena tak memiliki anak dari perkawinannya, beliau menganggap mama dan semua sepupunya sebagai anak sendiri. Dan perjalanan ini menjadi istimewa, karena tak lama setelah liburan kami, Oma Belanda itu meninggal dunia.

Aroma Yang Memanggil
Ada benang merah yang membuat aku flash back kepada masa lalu. Tekstur kursi tua yang aku duduki warisan almarhumah ibuku dari rumah Belanda di Bondowoso, dan aroma kopi tubruk dari cangkir yang aku genggam. Aroma ini sangat mirip dengan rekaman masa lalu bawah sadarku. Aroma yang memanggil-manggil. Ah, … wangi kopi! Bagaimana mungkin aku mengacuhkan keberadaan kopi, karena sejak diperkenalkannya di Bondowoso saat aku kecil, aku selalu ingin tahu lebih jauh. Bukan hanya karena suka akan rasa dan aromanya, tetapi kepada hikayat cerita yang melengkapinya. Membawa aku berkelana jauh ke masa ratusan tahun lalu.

Oma Belanda ini sangat paham sejarah dunia terutama soal kopi. Beliau sangat tahu nama-nama jenis kopi yang ditanam serta dibudidayakan di sekitar rumah besarnya. Ya, beliau dan suaminya yang orang jawa Timur, adalah pemilik lahan luas perkebunan kopi di Bondowoso saat itu.

Masih teringat bagaimana aku sambil terkantuk, duduk bersandar di bahunya, mendengar dengan seksama cerita-cerita yang memikat. Oma menceritakan bahwa selain di Bondowoso, biji kopi juga bisa didapatkan dari berbagai perkebunan lain di tanah air. Antara lain dari Aceh, Medan, Toraja, Timor Timur, dan dari tetangga Bondowoso, Jember . Sedangkan kopi yang terbaik dari Bondowoso adalah yang sudah dimakan Musang dan keluar bersama kotorannya. Biji-biji kopi yang merah tua disimpan dalam karung-karung goni di gudang selama 5- 7 tahun. Setelah itu dijemur di bawah sinar matahari yang terik selama 5-7 jam, kemudian ditumbuk, disangrai, lalu digiling halus.

Wah, bahagianya aku dapat membayangkan seluruh proses produksinya. Bahan informasi awal inilah yang membuat aku hari ini bersiap-siap “pulang kampung” ke Bondowoso kembali. Bernostalgia tentang keberadaan lingkungan perkebunan kopi kini karena belasan tahun lalu terkena land-reform , serta melihat kemungkinan membuat film dokumenter tentang Kopi Arabika asal Jawa Timur.


Resep Oma
Cerita Oma semakin memikat. Apalagi setelah diperkaya hikayat perdagangan yang dilakukan orang-orang Belanda di Nusantara sebelum Oma lahir, kerjasama yang berat sebelah oleh Kompeni, orang-orang bumi putra yang merebut kembali kekuasaan atas tanah ulayat milik adat, serta percintaan “terlarangnya” dengan eyang kakung yang tidak utuh kuserap karena usiaku yang masih belia. Kuingat, Soraya sudah lama terlelap di kasur lebar, di kaki Oma Belanda bersama para sepupu lainnya.

Oma juga membagi resep mengolah kopi. Baginya usaha kopi sangat kaya seni. Karenanya seluruh proses produksi diluar pembudidayaan kebun, dipegangnya sendiri. Ia berprinsip, menjual kopi harus fresh. “Cara” baginya sangat penting, dan jumlah bukanlah bidikan pertama. “Setiap kesalahan berproses adalah proses belajar itu sendiri”, kata Oma. Kalimat itu pula yang selalu terekam di bawah sadarku, bahwa sebuah proses belajar tidak ada yang instant. Hasil akhir biarkan menjadi misteri, karena yang penting adalah menikmati proses itu berjalan. Karena belajar itu asyik, kita harus proaktif mendatangi beberapa pakar, tidak malu bertanya, serta menjalin silaturahim dengan siapa saja yang bermurah hati untuk membagi ilmunya. Karena menurut beliau, di dunia ini tidak banyak orang ikhlas yang tulus mau berbagi ilmu kepada sesamanya.

Dan detik ini aku lupa, belum menyiapkan sarapan pagi untuk keluargaku. Bik Inah, pembantu yang sudah puluhan tahun ikut keluarga besarku masih pulang kampung. Saat ini sebetulnya saat yang tepat untuk mengeskpresikan rasa cinta pada keluarga melalui perut. Salah satunya dengan menuangkan kopi dalam cangkir-cangkir keramik kesayangan. Yang sedikit besar untuk Ikang, suamiku. Untuk ukuran sedang untuk mertuaku, ayah Ikang. Anak-anak menyukai rasa kopi dengan campuran Mocca Cream dalam mug besar.

Aroma Kopi, Aroma Cerdas
Aku ingin menciptakan suasana cerdas di meja makan. Sambil menikmati secangkir kopi diskusi ringan mengalir tentang apa saja. Tentang headline koran hari ini, politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Bila diskusi tidak nyambung, ya tidak apa-apa. Yang penting adalah membina kebiasaan mengutarakan pendapat dengan cara yang santun dan terasah. Mertuaku yang mantan Diplomat karir biasanya menjadi mentor informal. Jadi, bagiku kopi bukan sekedar minuman belaka, tapi juga perekat tali emosi di dalam keluarga.

Sementara di luar rumah, aku juga sering memilih Coffee House atau Coffee Lounge sebagai tempat bertemu walau sekedar social chart demi menyambung silaturrahim. Lebih serius lagi, sering pula menjadi tempat membina pertemanan dengan relasi bisnis.

Kopi memang selalu menarik. Semenarik harumnya yang selalu membuat orang mau tak mau, walau sekedar untuk menghirup aromanya, menyita minimal satu dan dua detik untuk menikmatinya.
Aroma kopi bagiku, adalah aroma cerdas dan elegan.

Sumber: http://www.marissahaque-dulu-pdip.com/esei/kopi_dan_kenangan.htm

Entri Populer